BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak dulu upacara atau ritual merupakan bagian
penting yang tampak nyata mengiringi sistem beragama orang Hindu-Bali. Selain
upacara atau ritual, terdapat tattwa (filsafat) dan susila (etika) yang menjadi
kerangka dasar agama Hindu. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang paling
memberi arti atas sistem agama secara keseluruhan. Upacara agama dalam agama
Hindu, dilandasi oleh susila agama, susil didasarkan pada tattwa agama, dan
pelaksanaan upacara agama tidak bisa dilepaskan dari tatanan tattwa
(Kebayantini, 2013: 1)
Pelaksanaan ajaran agama Hindu di
Bali lebih banyak diwarnai dengan jalan Bhakti dan Karma. Ajaran bhakti dan
karma ini lebih ditampakan pada ritus dan simbolik dibandingkan dengan
pemahaman pengetahuan (filsafat).
Artinya tindakan agama Hindu d
Bali lebih dominan menonjolkan praktek ritualnya (upacara). Bentuk-bentuk
ritual di Bali tampak pada rangkaian upacara yang disebut dengan Panca Yajna yang terdiri dari Dewa Yajna, Pitra Yajna, Rsi Yajna, Manusa
Yajna, dan Bhuta Yajna. Adapun wujud
dari dari Bhakti seorang Prati Sentana (keturunan) yang berhutang budhi sangat
besar dan tak ternilai harganya kepada para leluhur, dibayar dengan
melaksanakan Pitra Yajna yaitu Ngaben. Seperti halnya bila telah
meninggal , seorang prati sentana wajib
melakukan penyucian roh leluhur dengan Pitra
Yajna yang mana dalam pelaksanaannya dengan melakukan Pitra Puja yang dilakukan oleh para Pandita dengan persembahan
berupa sesajen yang merupakan sarana untuk beliau mencapai tempat yang sesuai
dengan karmanya.
Wiana (1998:35-36) menjelaskan bahwa
berdasarkan keadaan jenazahnya, upacara ngaben
dapat dibagi menjadi tiga macam , yaitu (1) sawa wedana adalah upacara ngaben
yang masih ada jenazahnya utuh, (2) asti
wedana adalah upacara ngaben dimana
tidak ada jenazah utuh orang yang diaben, tetapi tulang belulangnya yang
diambil dari kuburan (setra), karena
sudah meninggal dan dikubur sebelumnya, dan (3) swasta adalah upacara ngaben dimana
jenazah orang yang meninggal tidak dapt diketahui.
Pelaksanaan upacara kematian atau ngaben di Bali sering kali menjadi rumit
dan menemukan masalah karena dibangun oleh budaya agama dengan tingkat
rigiditas yang tinggi. Orang Bali Hindu sering terjebak oleh tradisi yang
cenderung mengkonstruksi kemegahan prosesi ritual yang menelan biaya tinggi,
tetapi mengabaikan kemampuan orang yang melakukan upacara tersebut
(Kebayantini, 2013: 7-8).
Banyak
pihak telah berupaya untuk dapat mengatasinya agar orang Bali Hindu dapat
melaksanakan uapacara keagamaan terutama ngaben
dengan rasa aman, nyaman, sekaligus tidak memberatkan secara ekonomi tetapi
kebutuhan dan tujuan sosial religiusnya dapat dicapai. Sementara itu, secara
internal masalah yang dihadapi cukup kompleks dan rumit. Beban adat, misalnya
dirasa memberatkan dan seolah-olah tidak mengenal belas kasihan terutama kepada
warga yang memiliki keterbatasan modal ekonomi. Tradisi yang tumbuh dan
berkembang subur di desa adat kemudian diperkuat dengan awig-awig menyebabkan
warga desa adat tidak mempunyai banyak pilihan. Akibatnya banyak warga desa
adat yang melaksanakan upacara agama (termasuk upacara ngaben) dilandasi perasaan takut, yaitu takut disalahkan orang
banyak dan takut dikucilkan atau kesepekang.
Memang manusia
mungkin saja memanipulasi apa yang dialaminya secara kejiwaan, sehingga dalam
sikap dan tingkah laku terlihat berbeda, bahkan mungkin bertentangan dengan
keadaan sebenarnya. Mereka yang sebenarnya sedih, dapat berpura-pura tertawa.
Ataupun karena perasaan yang sangat gembira, dapat membuat seseorang menangis.
Namun secara umum, sikap dan prilaku baik yang terlihat adalah gambaran dari
gejala jiwa seseorang. Sikap dan prilaku yang baik tampak dalam perbuatan
maupun mimic (air muka) umumnya tak jauh berbeda dari gejolak batinnya, baik
cipta, rasa, dan karsanya.
Selanjutnya
agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan batin manusia. Agama
sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tetap dan rinci. Nilai-nilai agama yang dipilih seseorang
dijadikan sebuah pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat pula
dalam kehidupan mereka, seperti halnya dalam sebuah upacara ngaben. Dari uraian
diatas akan tampak adanya implikasi dari
segi psikologis ritual ngaben terhadap
sraddha dan bhakti umat Hindu.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa maksud dan tujuan dari upacara ngaben
ditinjau dari psikologi agama?
2.
Apa jenis jenis upacara ngaben?
3.
Apakah landasan filosofis upacara ngaben?
4.
Bagaimana implikasi psikologi ritual ngaben
terhadap sradha dan bhakti
umat
hindu?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dan
tujuan dari ngaben ditinjau dari
psikologi agama..
2.
Untuk mengetahui jenis jenis upacara ngaben.
3.
Untuk mengetahui landasan filosofis upacara ngaben
4. Untuk mengetahui implikasi psikologi
ritual ngaben terhadap sradha dan bhakti
umat Hindu.
1.4
Manfaat Penulisan
Makalah ini
diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat khususnya umat Hindu tentang makna
upacara ngaben, landasan filosofis
dari pelaksanaan upacara ngaben, serta
membangun kesadaran umat mengenai ngaben kaitannya
dengan sradha dan bhakti.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Maksud dan Tujuan dari Upacara Ngaben
ditinjau dari Psikologi Agama
Ngaben
berasal dari kata beya. Beya berarti
bekal, yakni berupa jenis upakara yang diperlukan dalam upacara ngaben itu, kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi
biaya atau prabeya dalam bahasa Bali.
Orang yang menyelenggarakan beyadalam bahasa Bali disebut meyanin. Kata ngaben, meyanin, sudah menjadi bahasa baku, untuk menyebutkan
upacara sawa wedhana. Jadi
sesungguhnya tidak perlu lagi diperdebatkan akan asal usul itu. Yang jelas ngaben adalah penyelenggaraan upacara
untuk sawa bagi orang yang sudah meninggal.
Ngaben
dalam bahasa Bali berkonotasi halus yang sering disebut dengan Palebon, yang berasal dari kata lebu
yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah
itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun
cara membakar adalah yang paling cepat.
Tempat untuk
memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan areal disebutnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang
berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal
darikatabasmi yang berarti hancur. Tunon lain
katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal. Sedangkan sema berasal dari kata smasama yang
berarti durga. Dewi Durga yang berstana di Tunon ini.
Secara
filosofis manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Menurut
Agama Hindu manusia itu terdiri dari tiga lapis yaitu: Stula Sarira, Suksma Sarira, dan
Antahkarana Sarira. Ketika manusia itu meninggal, suksma sarira dengan atmaakan
pergi meninggalkan badan, atma yang
sudah begitu lama menyatu dengan sarira,
atas kungkungan suksma sarira sulit
sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan,
lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi atma.
Untuk
tidak terlalu lama atma terhalang perginya perlu badan kasarnya diupacarai
untuk mempercepat proses kembalinya, kepada sumbernya di alam, yaki Panca
Mahabhuta, demikian juga sang atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi kea lam
pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang
disebut ngaben. Jika upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun
waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut
bhuta cuwil, dan atmanya akan mendapatkan neraka, seperti yang dijelaskan dalam
Lontar Tattwa Loka Kretti (lampiran 5a):
“ yan wwang
mati mapendhem ring prathiwi salawasya tan kinenan widhi-widhana, byakta
matemahan rogha ning bhuana, haro-haro gering mrana ring rat, atemahan gadgad”
Terjemahan:
“kalau orang mati ditanam pada tanah, selamanya
tidak diupacarai diaben, sesungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit
merana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya)”
Lahir,
hidup, dan mati sudah menjadi hukum rta (
hukum Tuhan) yang terus bergilir menimpa dan dialami oleh makhluk hidup
termasuk manusia. Kelahiran dan kematian adalah suatu konsep yang mendukung
rotasi kehidupan ini, seharusnya diterima dengan lapang dada dan tidak larut
dalam kesedihan. Di dalam kitab suci Bhagawad
Gita VIII.5 dinyatakan sebagai berikut:
“anta kale ca mam eva
Smaran muktva kalevaram
Yah prayati sa mad bhavam
Yati nasty atra samsayah.
Terjemahan:
Barang siapa pada waktu ajal tiba meninggalkan badan
jasmani ini mengenang aku selalu, sampai kepada-Ku, ini tak dapat diragukan
lagi (Pudja, 2003:208).
Kematian
adalah suatu proses sakral atau suci yang masing-masing agama mempunyai
cara-cara sendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia
yang memiliki peradaban budaya. Mati suatu proses kodrat dalam lingkaran
kehidupan manusia yang disebut dalam Tri
Kona yaitu Uttpeti(lahir), Stiti(hidup), dan Pralina(mati). Kamatian tidak dapat diduga, direncanakan dan
diinginkan. Proses penghormatan pada orang yang meninggal adalah ungkapan rasa bhakti terhadap para leluhur.
Tujuan dari
upacara ngaben adalah agar ragha sarira cepat dapat kembali kepada
asalnya, yaitu panca maha buthadi
alam ini dan bagi atma dengan selamat
dapat pergi ke alam pitra. Oleh karenanya, ngaben
sesuangguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mesti meninggal segera harus diaben.
Agama
Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala. Sang Yudhistira
mengabenkan para pahlawan yang gugur di medan juang di Tegal Kuruksetra,
seketika hanya dengan dengan sarana catur
wija. Para pembesar India seperti Nyonya Indira, dalam waktu yang singkat
sudah diaben. Tidak ada upakara yang menjelimet, hanya perlu pancake tempat pembakaran, kayu-kayu
harum sebagai kayu apinya dan tampak mantram-matram atau kidung yang terus
menerus mengalun.
Agama
Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih
memberikan alternative untuk menunggu sementara. Diberikan menunggu sementara,
dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga,menunggu dewasa menurut
sashih-sasih lain.
Kemampuan
seseorang untuk menggali atau memahami nilai agama yang terletak pada
nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam sikap dan tingkah laku
merupakan cirri dari kematangan beragama. Jadi kematangan beragama terlihat
dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan
nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari (Titib dan
Mardika, 2004: 66). Seperti yang telah diuraikan tersebut terkait dengan
pelaksanaan upacara ngaben, dimana
seseorang yang memiliki kematangan dalam beragama akan memahami bahwa upakara
yang besar dan megah tidak menjamin manusia saat meninggalkannya kelak akan
secara otomatis mendapatkan sorga (amor
ring acintya) akan tetapi, karma
wasana juga akan menuntun dan menentukan kehidupan pada saat menjelma
kembali (reinkarnasi). Para sentana
atau keluarga hanya berusaha untuk menjalankan kewajiban mengupacarai orang tua
yang meninggal sesuai dengan kemampuannya, sebagai wujud rasa bhakti kepada orang tua atau leluhur
yang meninggal karena mati itu adalah perpindahan kehidupan.
Setelah
orang meninggal atau mati dalam ajaran agama Hindu wajib dilakukan upacara ngaben. Pelaksanaan upacara ngaben beragam berdasarkan keadaan
jenazah yang diaben, maka upacara ngaben dapat dibagi menjadi tiga antara
lain: (1) sawa wedana yaitu ngaben yang langsung ada jenazahnya,
sebagai objek dari pengabenan adalah sjenazah utuh dari seseorang yang telah
meninggal. Prosesnya adalah setelah upacara nyiramang, layon digulung dengan
kain putih yang sudah dirajah selanjutnya diletakan di bale gede. Pada hari yang ditentukan atau hari pengutangan, maka dilaksanakan pelebon
diawali dengan upacara ngaskaradan caru pengelambuk selanjutnya jenazah
dinaikan diusung lalu ke setra.
Perjalanan
menuju setra atau kuburan ditaburkan sekar urayang terdiri dari beras kuning,
uang kepeng atau pis bolong, daun temen dan
kembang rampe. Penaburan sekar ura dimaksudkan sebagai perpisahan
antara yang telah meninggal dengan keluarga yang ditinggalkan agar selalu
diberikan kesejahteraan dan kemakmuran, serta dibarengi dengan beleganjur yang gemuruh dengan maksud
membangunkan unsur panca maha bhuta,
pada persimpangan jalan dilakukan pemutaran sebanyak tiga kali berlawanan arah
jarum jam dengan maksud secara filosofi perpisahan antara yang akan dipelebon dengan desa pakraman. Selanjutnya, begitu sampai di tempat pembasmian
kembali diputar kemudian diturunkan dan diadakan upacara pembasmian. Sebelumnya
diadakan upacara ngatur piuningke
pura dalem dan pura prajapati dengan menyertakan daksina linggih sebagai perwujudan atma yang meninggal.
2.2
Jenis-Jenis Upacara Ngaben
Ida Ayu Tary
Puspa (2013:109-112) menguraikan ada 5 jenis upacara ngaben di Bali adalah sebagai berikut :
1. Upacara pengabenan ngwangun
Upacara
ngaben ngwangun terdiri atas sawa prateka, nyawa wadana, dan asti
wadana. Ngaben ngwangun adalah
pelaksanaan upacara ngaben yang
menggunakan kuantitas upakara utama dan memakai atribut-atribut secara lengkap.
Pelaksanaan upacara ngaben ngwangun memiliki dua macam tatanan
upacaranyanya menurut ketentuan nista,
madya, dan utama.
Yang dimaksud dengan sawa
prateka adalah mengupacarai jenazah, atau dengan kata lain ada jenazah yang
diupacarai. Upacara pengabenan ngwangun
sawa wadana adalah upacara pengabenan
yang tidak disertakan dengan adanya jenazah., melainkan dengan cara
membuatkan jenazah secara simbolisasi dibuat dari lempengan kayu cendana dengan
ukuran lebar tiga jari (tigang guli)
dan panjangnya dengan ukuran dari ujung siku sampai ujung jari kelingking yang
disebut satu astha. Pelaksanaan
upacara ini tetap sama dengan ngaben
ngwangun sawa prateka mengenai kuantitas upakaranya.
2. Upacara
pengabenan pranawa
Pelaksanaan upacara ngaben pranawa memiliki kuantitas lebih
kecil dari ngaben ngwangun. Tetapi
mengenai kualitasnya sama. Dalam ngaben
pranawa ini ditekankan adalah pembersihan dan penyucian terhadap kesembilan
prana, yaitu prana, wyana, udana, samana,
kurma, apana, naga, dhananjaya, dan krkara.
3.
Upacara pengabenan Swastha
Upacara pengabenan yang jenasahnya tidak
ditemukan yaitu termasuk ke dalam upacara ngaben
yang sangat sederhana karena menggunakan kuantitas terkecil, karena tidak
disertakan upacara ngaskara, dan
karena tidak ngaskara, maka tidak
menggunakan kajang sehingga tidak ada
pengajuman kajang.
4. Upacara
ngaben ngelungah
Upacara ngaben ngelungah adalah upacara ngaben apabila jenazahnya adalah
anak-anak. Anak-anak yang dimaksudkan disini adalah anak-anak telah tanggal
gigi diperlakukan seperti orang dewasa dan anak-anak bayi yang berumur kurang
dari tiga bulan dilakukan dengan cara dikubur dengan upacara secukupnya, yaitu banten pejati untuk di Mrajapati sebagai permakluman serta
dilengkapi dengan banten lainnya
sesuai dengan desa, kala, dan patra. Kemudian apabila dilakukan
upacara atiwa- atiwa hal itu disebut
dengan ngelungah.
5. Upacara
ngaben mitra yajna
Ngaben
mitra yajna adalah ngaben yang sederhana dengan pengawak
daksina. Ngaben inilah yang
pernah dilaksanakan oleh Ida Pedanda Made Sidemen pada waktu beliau lebar. Pengabenan yang sangat sederhana karena tidak memakai upakara besar
hanya dengan pengawak daksina dan hanya memakai peti sebagai
tempat jenazah saat diberangkatkan ke patunon.
2.2
Landasan Filosofis Upacara Ngaben
Landasan filosofis ngaben bisa
diuraikan secara umum dan secara khusus.
1.
Landasan
filosofis upacara ngaben secara umum
Kebayantini Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu, yang disebut Panca Sradha. Panca Sradha atau lima
keyakinan itu adalah:
1.
Ketuhanan/Brahman
Brahman merupakan asal
terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia. Beliau juga
merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan itu. Dalam kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan kalimat sang sangkan paraning dumadi artinya
Beliau sebagai asal dan kembalinya alam semesta beserta semua isinya.
Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara tersebut dilakukan dengan tujuan
untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan manusia ke asalnya.
2.
Atman
Keyakinan akan adanya Atman pada masing-masing badan manusia.
Ia yang menghidupkan manusia. Ia yang menghidupkan semua organ tubuh manusia. Atma ini merupakan serpihan dari Brahman. Suatu saat setelah tiba
waktunya, ia pun akan kembali kepada asalnya yang suci.,Atmaperlu disucikan. Hal inilah yang memerlukan upacara.
3.
Karmaphala
Manusia hidup tidak
bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa)
setiap kerja akan berpahala. Kerja yang baik (subha karma) berpahala baik pula.
Kerja yang buruk (asubha karma) akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini
akan merupakan beban bagi Atma akan
kembali ke asalnya. Namun buah karma yang buruk, beban Atma yang akan menghempaskan kea lam bawah (Neraka). Oleh karena
itu manusia perlu berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi, ia mampu
membebaskan dosa-dosanya tanpa bantuan sarana dan orang lain. Tapi bagi manusia
biasa, ia memerlukan pertolongan. Hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara ngaben, yang salah satu aspeknya akan
menebus dan menyucikan dosa-dosa itu.
4.
Samsara/Punarbhawa
Samsara
artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Sykur kalau
lahirnya menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara ngaben, yang salah satu tujuan adalah
untuk melepaskan Atma untuk dapat kembali ke asalnya. Hal
ini disimbolkan dengan tirtha pangentas dan aksara-aksara kelepasan lainnya
seperti rurub kajang, recedana, dan lain-lain.
5.
Moksa
Moksa
artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadi tumpuan harapan semua manusia
dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya moksa itu, atma
harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya dengan
duniawi harus diputus, kemudian terakhir ia harus dipersatukan dengan
sumbernya. Inilah menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur, dan terakhir ngalinggihang
Dewa Hyang pada Sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini mengandung arti
atma bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain mencapai Moksa.
2.
Landasan
filosofis upacara ngaben secara
khusus
Yang menjadi landasan
filosofis yang lebih khusus dari upacara ngaben
adalah:
1. Cinta
yang mendalam
Sangat besar hutang budhi manusia terhadap
leluhurnya. Ia ada karena jasa leluhur, khususnya bapak dan ibu. Jasanya begitu
besar, tidak bisa terlunasi, kecuali dengan jasa pula. Ia berusaha bagaimana ia
mampu untuk mengupayakan agar leluhurnya mendapat keselamatan. Usaha ini yang
berupa bhakti harus ada buktinya. Dan bukti ini harus dihayati dengan indria
dan dapat memberi kepuasan indria itu sendiri. Sebagai bukti rasa cinta kasih
itu,ia akan mempersembahkan segala-galanya. Yang megah dan terindah. Sebagai
simbol dari rasa cinta ini, ia akan memenuhi semua sarana yang diperlukan. Ia
tidak memperhitungkan mahalnya nilai sarana. Yang penting dapat
mempersembahkannya. Ia akan mengikuti semua sastra.
2. Pembebasan
dosa
Manusia bekerja atas dorongan budi, manah indria,
dan ahamkara. Kalau indria dan ahamkara yang mendominasi, kecendrungan karma
itu adalah buruk, yang akan menjadikan dosa. Manusia tidak bisa lepas dari
dosa-dosa ini. Tapi antara manusia satu dengan yang lainnya akan berbeda
kualitas dosanya, sesuai dengan lingkungan kerja manusia itu sendiri. Usaha
pembebasan atas dosa-dosa memang sangat dibutuhkan dalam upacara ngaben. Dari dasar pemikiran inilah,
mengapa seorang raja harus diaben secara besar-besaran, bahkan memakai naga banda.
2.3
Ngaben Sebagai wujud Sradha Bhakti Kepada Leluhur
Di
dalam tradisi Hindu seseorang tidak hanya diajarkan memuja Tuhan, tetapi juga
menghormati atau memuja leluhur. Wiana (1998:2) menyatakan bahwa dalam tradisi
orang Bali-Hindu ayah dan ibu disebut sebagai guru Rupaka. Selain guru
rupaka ada guru swadyaya, yaitu
Tuhan. Sedangkan guru pengajian
adalah guru yang memberikan bekal ilmu pengetahuan, dan guru wisesa adalah pemerintah. Guru
rupaka adalah orang tua yang menjadikan seorang anak manusia ada di dunia,
mulai dari dalam kandungan, dilahirkan, dipelihara dan dididik agar dapat
menjadi anak yang baik, berguna, dan berbhakti yang disebut dengan suputra.
Di
dalam kitab Sarasamuscaya sloka 228
(kajeng, 1978: 158) dijelaskan tentang arti anak sebagai berikut:
“Yang dianggap anak, adalah orang yang menjadi
pelindung, orang yang memerlukan pertolongan serta untuk menolong kaum kerabat
yang tertimpa kesengsaraan, untuk disedekahkan tujuannya, akan segala hasil
usahanya, gunanya memasak menyediakan makanan untuk orang-orang miskin, orang
yang demikian itu putra sejati namanya”.
Semua agama dan
kebudayaan umat manusia mengajarkan agar anak dapat menghormati dan berbhakti
kepada orang tuanya. Di dalam ajaran agama Hindu ada keyakinan bahwa manusia
yang lahir ke dunia ini memiliki tiga hutang moral (tri rna). Salah satunya
adalah hutang moral yang harus dibayar agar terbebas dari belitan hutang
sehingga dapat menjadi manusia yang lebih baik. Ada berbagai cara yang dapat
dilakukan dan ditunjukan oleh seorang anak untuk membayar hutang kepada orang
tua atau leluhurnya. Menurut Wiana (2004:4), membayar hutang kepada orang tua
(leluhur) dapat dilakukan dengan melaksanakan upacara manusa yajna dan pitra yajna.
Manusa
Yajna adalah ajaran yang bermakna seseorang harus
melaksanakan pitra rna atau merupakan
salah satu bentuk hormat dan pengorbanan suci kepada para leluhur. Cara yang
dapat dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, melaksanakan yajna kepada anak-anak. Karena dalam
Hindu ada keyakinan tentang punarbhawa,
yaitu reinkarnasi atau kelahiran kembali. Orang Bali Hindu percaya anak-anak
yang lahir ke dunia adalah penjelmaan kembali dari leluhurnya. Oleh karena itu,
anak-anak haruslah dirawat, dibesarkan, dilindungi, dan dididik dengan baik,
penuh rasa kasih sayang karena dengan melakukan semua itu berarti menghormati
leluhur. Inilah salah satu bentuk manusa yajna sebagai cara untuk menunjukan
rasa kasih saying, hormat, dan bhakti kepada leluhur. Ada kepercayaan bahwa
para leluhur yang telah meninggal dunia baru bisa bereinkarnasi jika telah
bersih, atau sudah diaben.
Upacara ngaben sebagai simbol pembayaran utang
kepada leluhur sarat akan nilai, norma, dan etika sosial kemasyarakatan dan
bersifat religius adalah representasi dari sikap seorang anak yang hormat,
berbakti, dan cinta kasih kepada leluhurnya. Upacara ngaben merupakan perwujudan dan pengejewantahan sradha dan bhakti seorang anak kepada orang tua atau leluhurnya. Meminjam
teori Bordieu (fashri, 2006) dalam Kebayantini, yang menguraikan bahwa upacara ngaben merupakan “struktur-struktur yang
dibentuk” dan “struktur-struktur yang membentuk”. Di satu sisi upacara ngaben berperan sebagai sebuah struktur
yang membentuk kehidupan sosial individu manusia Bali Hindu. Di sisi lain
upacarangaben dipandang sebagai
struktur yang dibentuk oleh kehidupan sosial manusia Bali-Hindu. Orang Bali
menganggap upacara ngaben sebagai salah
satu cara atau jalan untuk dapat menghormati dan berbhakti kepada leluhurnya.
Seorang anak hormat dan bakti kepada orang tuanya tidak hanya ditunjukan ketika
orang tuanya masih hidup. Tetapi juga ditunjukan ketika orang tuanya meninggal.
Rasa hormat dan
bhakti yang ditunjukan dengan mengadakan upacara ngaben ini dalam banyak hal merupakan kesadaran dari seorang anak
tentang ajaran panca wida dan
kepercayaan akan ajaran Hindu tentang hukum punarbhawa.
Jadi di satu sisi upacara ngaben yang dilandasi
panca wida dan punarbhawa merupakan struktur yang
membentuk seorang anak untuk menjadi anak suputra,
yaitu anak yang hormat dan berbhakti kepada orang tuanya. Hal ini dapat
ditunjukan dengan bagaimana ia berusaha secara ekonomi agar dapat membiayai
upacara ngaben, bagaimana secara
sosial ia mampu menggalang dan membentuk kerja sama dengan kerabatn dan
orang-orang di lingkungannya untuk melaksanakan uoacara ngaben. Sementara itu d sisi lain ia mengasah cara berpikir,
mengembangkan kebiasaan, sikap,
perkembangan waktu, ruang, dan dinamika kehidupan orang Bali. Demikian konsep suputra ( Gorda, 1996: 87) dalam
Kebayantini, yang memiliki arti penting sebagai jembatan menyucikan atman orang tua (leluhur).
Dewasa ini umat
Hindu di Bali dalam melaksanakan upacara
ngaben telah menempuh dengan jalan perseorangan atau ngiring di sebuah griya. Dalam pelaksanaan upacara ngaben tersebut masyarakat Hindu
cenderung hiperiualitas atau melaksanakan upacara secara besar-besaran (Ida Ayu
Tary Puspa, 2014:11).
Piliang (Ida Ayu
Tary Puspa, 2014:11) mengatakan bahwa berbagai aspek kegiatan ritual keagamaan
tersebut secara hakiki tidak lagi berkaitan dengan model yang dicontohkan
dalil-dalil nyang telah digariskan, maka yang berkembang adalah hiperealitas
ritual (hyper-reality of ritual) atau
hiperitual (hyper-ritual),yaitu
realitas ritual keagamaan yang telah melampaui hakikat ritual itu sendiri. Yang
berkemabng adalah berbagai bentuk realitas-realitas ritual artificial, yang
berbagai budaya materi dan gaya hidup sendiri sebagai ruang penyucian jiwa.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Ngaben
dalam bahasa Bali berkonotasi halus yang sering disebut dengan Palebon, yang berasal dari kata lebu
yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah
itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun
cara membakar adalah yang paling cepat.
Tujuan dari
upacara ngaben adalah agar ragha sarira cepat dapat kembali kepada
asalnya, yaitu panca maha buthadi
alam ini dan bagi atma dengan selamat
dapat pergi ke alam pitra. Oleh karenanya, ngaben
sesuangguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mesti meninggal segera harus diaben.
Landasan
filosofis ngaben bisa diuraikan
secara umum dan secara khusus. Landasan Landasan pokok ngabensecara umum adalah lima kerangka agama Hindu, yang disebut Panca Sradha. Panca Sradha atau lima
keyakinan itu adalah:Brahman, Atman,
Karmaphala, Samsara, dan, Moksa.
Sedangkan secara khusus ngaben dilaksanakan
karena cinta yang mendalam terhadap leluhur dan pembebasan dosa.
Upacara ngaben sebagai simbol pembayaran utang
kepada leluhur sarat akan nilai, norma, dan etika sosial kemasyarakatan dan
bersifat religius adalah representasi dari sikap seorang anak yang hormat,
berbakti, dan cinta kasih kepada leluhurnya. Upacara ngaben merupakan perwujudan dan pengejewantahan sradha dan bhakti seorang anak kepada orang tua atau leluhurnya.
3.2
Saran
Masyarakat
Hinduk hendaknya dapat meningkatkan wawasannya tentang upacara ngaben. Hal ini dimaksudkan agar banyak
belajar dari sumber-sumber sastra sehingga setiap melaksanakan upacara agama
berdasarkan sastra suci Hindu.
DAFTAR
PUSTAKA
Tary Puspa, Ida Ayu. 2013. Bali Dalam Perubahan Ritual Komodifikasi
Ngaben di Era Globalisasi. Denpasar: Arti Foundation.
Kajeng, I Nyoman dkk. 1978. Sarasamuscaya dengan Teks Bahasa Sansekerta
dan Jawa Kuno, Terjemahan dalam Bahasa Indonesia. PT Junasco.
Kebayantini, Ni Nyoman. 2013. Komodifikasi Upacara Ngaben di Bali.
Denpasar: Udayana University Press.
Pudja. 2003. Bhagawadgita. Surabaya: Paramita
Titib, I Made dan Mardika. 2004. Buku Ajar Psikologi Agama. Jakarta: Bimas Hindu Budha Departemen
Agama RI
Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu.
Surabaya: Paramita
Wikarman, I Nyoman Singgin. 2002. Ngaben Upacara dari Tingkat Sederhana sampai
Utama. Surabaya: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar