Kamis, 30 Juli 2015

MAKALAH NGABEN


BAB I
PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang
Sejak dulu upacara atau ritual merupakan bagian penting yang tampak nyata mengiringi sistem beragama orang Hindu-Bali. Selain upacara atau ritual, terdapat tattwa (filsafat) dan susila (etika) yang menjadi kerangka dasar agama Hindu. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang paling memberi arti atas sistem agama secara keseluruhan. Upacara agama dalam agama Hindu, dilandasi oleh susila agama, susil didasarkan pada tattwa agama, dan pelaksanaan upacara agama tidak bisa dilepaskan dari tatanan tattwa (Kebayantini, 2013: 1)
            Pelaksanaan ajaran agama Hindu di Bali lebih banyak diwarnai dengan jalan Bhakti dan Karma. Ajaran bhakti dan karma ini lebih ditampakan pada ritus dan simbolik dibandingkan dengan pemahaman pengetahuan (filsafat).  Artinya tindakan  agama Hindu d Bali lebih dominan menonjolkan praktek ritualnya (upacara). Bentuk-bentuk ritual di Bali tampak pada rangkaian upacara yang disebut dengan Panca Yajna yang terdiri dari Dewa Yajna, Pitra Yajna, Rsi Yajna, Manusa Yajna, dan Bhuta Yajna. Adapun wujud dari dari Bhakti seorang Prati Sentana (keturunan) yang berhutang budhi sangat besar dan tak ternilai harganya kepada para leluhur, dibayar dengan melaksanakan Pitra Yajna yaitu Ngaben. Seperti halnya bila telah meninggal , seorang prati sentana wajib melakukan penyucian roh leluhur dengan Pitra Yajna yang mana dalam pelaksanaannya dengan melakukan Pitra Puja yang dilakukan oleh para Pandita dengan persembahan berupa sesajen yang merupakan sarana untuk beliau mencapai tempat yang sesuai dengan karmanya.
            Wiana (1998:35-36) menjelaskan bahwa berdasarkan keadaan jenazahnya, upacara ngaben dapat dibagi menjadi tiga macam , yaitu (1) sawa wedana adalah upacara ngaben yang masih ada jenazahnya utuh, (2) asti wedana adalah upacara ngaben dimana tidak ada jenazah utuh orang yang diaben, tetapi tulang belulangnya yang diambil dari kuburan (setra), karena sudah meninggal dan dikubur sebelumnya, dan (3) swasta adalah upacara ngaben dimana jenazah orang yang meninggal tidak dapt diketahui.
            Pelaksanaan upacara kematian atau ngaben di Bali sering kali menjadi rumit dan menemukan masalah karena dibangun oleh budaya agama dengan tingkat rigiditas yang tinggi. Orang Bali Hindu sering terjebak oleh tradisi yang cenderung mengkonstruksi kemegahan prosesi ritual yang menelan biaya tinggi, tetapi mengabaikan kemampuan orang yang melakukan upacara tersebut (Kebayantini, 2013: 7-8).
            Banyak pihak telah berupaya untuk dapat mengatasinya agar orang Bali Hindu dapat melaksanakan uapacara keagamaan terutama ngaben dengan rasa aman, nyaman, sekaligus tidak memberatkan secara ekonomi tetapi kebutuhan dan tujuan sosial religiusnya dapat dicapai. Sementara itu, secara internal masalah yang dihadapi cukup kompleks dan rumit. Beban adat, misalnya dirasa memberatkan dan seolah-olah tidak mengenal belas kasihan terutama kepada warga yang memiliki keterbatasan modal ekonomi. Tradisi yang tumbuh dan berkembang subur di desa adat kemudian diperkuat dengan awig-awig menyebabkan warga desa adat tidak mempunyai banyak pilihan. Akibatnya banyak warga desa adat yang melaksanakan upacara agama (termasuk upacara ngaben) dilandasi perasaan takut, yaitu takut disalahkan orang banyak dan takut dikucilkan atau kesepekang.
Memang manusia mungkin saja memanipulasi apa yang dialaminya secara kejiwaan, sehingga dalam sikap dan tingkah laku terlihat berbeda, bahkan mungkin bertentangan dengan keadaan sebenarnya. Mereka yang sebenarnya sedih, dapat berpura-pura tertawa. Ataupun karena perasaan yang sangat gembira, dapat membuat seseorang menangis. Namun secara umum, sikap dan prilaku baik yang terlihat adalah gambaran dari gejala jiwa seseorang. Sikap dan prilaku yang baik tampak dalam perbuatan maupun mimic (air muka) umumnya tak jauh berbeda dari gejolak batinnya, baik cipta, rasa, dan karsanya.
Selanjutnya agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan batin manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tetap dan rinci.  Nilai-nilai agama yang dipilih seseorang dijadikan sebuah pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat pula dalam kehidupan mereka, seperti halnya dalam sebuah upacara ngaben. Dari uraian diatas  akan tampak adanya implikasi dari segi psikologis ritual ngaben terhadap sraddha dan bhakti umat Hindu.

1.2 Rumusan Masalah
            1. Apa maksud dan tujuan dari upacara ngaben ditinjau dari psikologi agama?
            2. Apa jenis jenis upacara ngaben?
            3. Apakah landasan filosofis upacara ngaben?
            4. Bagaimana implikasi psikologi ritual ngaben terhadap sradha dan bhakti
            umat hindu?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dan tujuan dari ngaben ditinjau dari psikologi agama..
            2. Untuk mengetahui jenis jenis upacara ngaben.
            3. Untuk mengetahui landasan filosofis upacara ngaben
4. Untuk mengetahui implikasi psikologi ritual ngaben terhadap sradha dan  bhakti umat  Hindu.

1.4 Manfaat Penulisan
            Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat khususnya umat Hindu tentang makna upacara ngaben, landasan filosofis dari pelaksanaan upacara ngaben, serta membangun kesadaran umat mengenai ngaben kaitannya dengan sradha dan bhakti.

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Maksud dan Tujuan dari Upacara Ngaben ditinjau dari Psikologi Agama
      Ngaben berasal dari kata beya. Beya berarti bekal, yakni berupa jenis upakara yang diperlukan dalam upacara ngaben  itu, kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi biaya atau prabeya dalam bahasa Bali. Orang yang menyelenggarakan  beyadalam bahasa Bali disebut meyanin. Kata ngaben, meyanin, sudah menjadi bahasa baku, untuk menyebutkan upacara sawa wedhana. Jadi sesungguhnya tidak perlu lagi diperdebatkan akan asal usul itu. Yang jelas ngaben adalah penyelenggaraan upacara untuk sawa bagi orang yang sudah meninggal.
      Ngaben dalam bahasa Bali berkonotasi halus yang sering disebut dengan Palebon, yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.
Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan areal disebutnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal darikatabasmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal. Sedangkan sema berasal dari kata smasama yang berarti durga. Dewi Durga yang berstana di Tunon ini.
            Secara filosofis manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Menurut Agama Hindu manusia itu terdiri dari tiga lapis yaitu: Stula Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Ketika manusia itu meninggal, suksma sarira dengan atmaakan pergi meninggalkan badan, atma yang sudah begitu lama menyatu dengan sarira, atas kungkungan suksma sarira sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi atma.
            Untuk tidak terlalu lama atma terhalang perginya perlu badan kasarnya diupacarai untuk mempercepat proses kembalinya, kepada sumbernya di alam, yaki Panca Mahabhuta, demikian juga sang atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi kea lam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut ngaben. Jika upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut bhuta cuwil, dan atmanya akan mendapatkan neraka, seperti yang dijelaskan dalam Lontar Tattwa Loka Kretti (lampiran 5a):
yan wwang mati mapendhem ring prathiwi salawasya tan kinenan widhi-widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro-haro gering mrana ring rat, atemahan gadgad”
Terjemahan:
“kalau orang mati ditanam pada tanah, selamanya tidak diupacarai diaben, sesungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit merana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya)”

            Lahir, hidup, dan mati sudah menjadi hukum rta ( hukum Tuhan) yang terus bergilir menimpa dan dialami oleh makhluk hidup termasuk manusia. Kelahiran dan kematian adalah suatu konsep yang mendukung rotasi kehidupan ini, seharusnya diterima dengan lapang dada dan tidak larut dalam kesedihan. Di dalam kitab suci Bhagawad Gita VIII.5 dinyatakan sebagai berikut:
            “anta kale ca mam eva
             Smaran muktva kalevaram
             Yah prayati sa mad bhavam
             Yati nasty atra samsayah.
Terjemahan:
Barang siapa pada waktu ajal tiba meninggalkan badan jasmani ini mengenang aku selalu, sampai kepada-Ku, ini tak dapat diragukan lagi (Pudja, 2003:208).

            Kematian adalah suatu proses sakral atau suci yang masing-masing agama mempunyai cara-cara sendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya. Mati suatu proses kodrat dalam lingkaran kehidupan manusia yang disebut dalam Tri Kona yaitu Uttpeti(lahir), Stiti(hidup), dan Pralina(mati). Kamatian tidak dapat diduga, direncanakan dan diinginkan. Proses penghormatan pada orang yang meninggal adalah ungkapan rasa bhakti terhadap para leluhur.
            Tujuan dari upacara ngaben adalah agar ragha sarira cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu panca maha buthadi alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam pitra. Oleh karenanya, ngaben sesuangguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mesti meninggal segera harus diaben.
            Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala. Sang Yudhistira mengabenkan para pahlawan yang gugur di medan juang di Tegal Kuruksetra, seketika hanya dengan dengan sarana catur wija. Para pembesar India seperti Nyonya Indira, dalam waktu yang singkat sudah diaben. Tidak ada upakara yang menjelimet, hanya perlu pancake tempat pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak mantram-matram atau kidung yang terus menerus mengalun.
            Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan alternative untuk menunggu sementara. Diberikan menunggu sementara, dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga,menunggu dewasa menurut sashih-sasih lain.
            Kemampuan seseorang untuk menggali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam sikap dan tingkah laku merupakan cirri dari kematangan beragama. Jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari (Titib dan Mardika, 2004: 66). Seperti yang telah diuraikan tersebut terkait dengan pelaksanaan upacara ngaben, dimana seseorang yang memiliki kematangan dalam beragama akan memahami bahwa upakara yang besar dan megah tidak menjamin manusia saat meninggalkannya kelak akan secara otomatis mendapatkan sorga (amor ring acintya) akan tetapi, karma wasana juga akan menuntun dan menentukan kehidupan pada saat menjelma kembali (reinkarnasi). Para sentana atau keluarga hanya berusaha untuk menjalankan kewajiban mengupacarai orang tua yang meninggal sesuai dengan kemampuannya, sebagai wujud rasa bhakti kepada orang tua atau leluhur yang meninggal karena mati itu adalah perpindahan kehidupan.
            Setelah orang meninggal atau mati dalam ajaran agama Hindu wajib dilakukan upacara ngaben. Pelaksanaan upacara ngaben beragam berdasarkan keadaan jenazah yang diaben, maka upacara ngaben dapat dibagi menjadi tiga antara lain: (1) sawa wedana yaitu ngaben yang langsung ada jenazahnya, sebagai objek dari pengabenan adalah sjenazah utuh dari seseorang yang telah meninggal. Prosesnya adalah setelah upacara nyiramang, layon digulung dengan kain putih yang sudah dirajah selanjutnya diletakan di bale gede. Pada hari yang ditentukan atau hari pengutangan, maka dilaksanakan pelebon diawali dengan upacara ngaskaradan caru pengelambuk selanjutnya jenazah dinaikan diusung lalu ke setra.
            Perjalanan menuju setra atau kuburan ditaburkan sekar urayang terdiri dari beras kuning, uang kepeng atau pis bolong, daun temen dan kembang rampe. Penaburan sekar ura dimaksudkan sebagai perpisahan antara yang telah meninggal dengan keluarga yang ditinggalkan agar selalu diberikan kesejahteraan dan kemakmuran, serta dibarengi dengan beleganjur yang gemuruh dengan maksud membangunkan unsur panca maha bhuta, pada persimpangan jalan dilakukan pemutaran sebanyak tiga kali berlawanan arah jarum jam dengan maksud secara filosofi perpisahan antara yang akan dipelebon dengan desa pakraman. Selanjutnya, begitu sampai di tempat pembasmian kembali diputar kemudian diturunkan dan diadakan upacara pembasmian. Sebelumnya diadakan upacara ngatur piuningke pura dalem dan pura prajapati dengan menyertakan daksina linggih sebagai perwujudan atma yang meninggal.

2.2 Jenis-Jenis Upacara Ngaben
            Ida Ayu Tary Puspa (2013:109-112) menguraikan ada 5 jenis upacara ngaben di Bali adalah sebagai berikut :
1.      Upacara pengabenan ngwangun
Upacara ngaben ngwangun terdiri atas sawa prateka, nyawa wadana, dan asti wadana. Ngaben ngwangun adalah pelaksanaan upacara ngaben yang menggunakan kuantitas upakara utama dan memakai atribut-atribut secara lengkap. Pelaksanaan upacara ngaben ngwangun memiliki dua macam tatanan upacaranyanya menurut ketentuan nista, madya, dan utama.
            Yang dimaksud dengan sawa prateka adalah mengupacarai jenazah, atau dengan kata lain ada jenazah yang diupacarai. Upacara pengabenan ngwangun sawa wadana adalah upacara pengabenan yang tidak disertakan dengan adanya jenazah., melainkan dengan cara membuatkan jenazah secara simbolisasi dibuat dari lempengan kayu cendana dengan ukuran lebar tiga jari (tigang guli) dan panjangnya dengan ukuran dari ujung siku sampai ujung jari kelingking yang disebut satu astha. Pelaksanaan upacara ini tetap sama dengan ngaben ngwangun sawa prateka mengenai kuantitas upakaranya.
2.      Upacara pengabenan pranawa
Pelaksanaan upacara ngaben pranawa memiliki kuantitas lebih kecil dari ngaben ngwangun. Tetapi mengenai kualitasnya sama. Dalam ngaben pranawa ini ditekankan adalah pembersihan dan penyucian terhadap kesembilan prana, yaitu prana, wyana, udana, samana, kurma, apana, naga, dhananjaya, dan krkara.


3.      Upacara pengabenan Swastha
Upacara pengabenan yang jenasahnya tidak ditemukan yaitu termasuk ke dalam upacara ngaben yang sangat sederhana karena menggunakan kuantitas terkecil, karena tidak disertakan upacara ngaskara, dan karena tidak ngaskara, maka tidak menggunakan kajang sehingga tidak ada pengajuman kajang.

4.      Upacara ngaben ngelungah
Upacara ngaben ngelungah adalah upacara ngaben apabila jenazahnya adalah anak-anak. Anak-anak yang dimaksudkan disini adalah anak-anak telah tanggal gigi diperlakukan seperti orang dewasa dan anak-anak bayi yang berumur kurang dari tiga bulan dilakukan dengan cara dikubur dengan upacara secukupnya, yaitu banten pejati untuk di Mrajapati sebagai permakluman serta dilengkapi dengan banten lainnya sesuai dengan desa, kala, dan patra. Kemudian apabila dilakukan upacara atiwa- atiwa hal itu disebut dengan ngelungah.
5.      Upacara ngaben mitra yajna
Ngaben mitra yajna adalah ngaben yang sederhana dengan pengawak daksina. Ngaben inilah yang pernah dilaksanakan oleh Ida Pedanda Made Sidemen pada waktu beliau lebar. Pengabenan yang sangat sederhana karena tidak memakai upakara besar hanya dengan pengawak daksina dan hanya memakai peti sebagai tempat jenazah saat diberangkatkan ke patunon.

2.2 Landasan Filosofis Upacara Ngaben
Landasan filosofis ngaben bisa diuraikan secara umum dan secara khusus.
1.   Landasan filosofis upacara ngaben secara umum
Kebayantini Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu, yang disebut Panca Sradha. Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah:

1.      Ketuhanan/Brahman
Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan itu. Dalam kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan kalimat sang sangkan paraning dumadi artinya Beliau sebagai asal dan kembalinya alam semesta beserta semua isinya. Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan manusia ke asalnya.
2.      Atman
Keyakinan akan adanya Atman pada masing-masing badan manusia. Ia yang menghidupkan manusia. Ia yang menghidupkan semua organ tubuh manusia. Atma ini merupakan serpihan dari Brahman. Suatu saat setelah tiba waktunya, ia pun akan kembali kepada asalnya yang suci.,Atmaperlu disucikan. Hal inilah yang memerlukan upacara.
3.      Karmaphala
Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala. Kerja yang baik (subha karma) berpahala baik pula. Kerja yang buruk (asubha karma) akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini akan merupakan beban bagi Atma akan kembali ke asalnya. Namun buah karma yang buruk, beban Atma yang akan menghempaskan kea lam bawah (Neraka). Oleh karena itu manusia perlu berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi, ia mampu membebaskan dosa-dosanya tanpa bantuan sarana dan orang lain. Tapi bagi manusia biasa, ia memerlukan pertolongan. Hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara ngaben, yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu.
4.      Samsara/Punarbhawa
Samsara artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Sykur kalau lahirnya menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara ngaben, yang salah satu tujuan adalah untuk melepaskan  Atma untuk dapat kembali ke asalnya. Hal ini disimbolkan dengan tirtha pangentas dan aksara-aksara kelepasan lainnya seperti rurub kajang, recedana, dan lain-lain.
5.      Moksa
Moksa artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadi tumpuan harapan semua manusia dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya moksa itu, atma  harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya dengan duniawi harus diputus, kemudian terakhir ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur, dan terakhir ngalinggihang Dewa Hyang pada Sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini mengandung arti atma bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain mencapai Moksa.

2.      Landasan filosofis upacara ngaben secara khusus
Yang menjadi landasan filosofis yang lebih khusus dari upacara ngaben adalah:
1.      Cinta yang mendalam
Sangat besar hutang budhi manusia terhadap leluhurnya. Ia ada karena jasa leluhur, khususnya bapak dan ibu. Jasanya begitu besar, tidak bisa terlunasi, kecuali dengan jasa pula. Ia berusaha bagaimana ia mampu untuk mengupayakan agar leluhurnya mendapat keselamatan. Usaha ini yang berupa bhakti harus ada buktinya. Dan bukti ini harus dihayati dengan indria dan dapat memberi kepuasan indria itu sendiri. Sebagai bukti rasa cinta kasih itu,ia akan mempersembahkan segala-galanya. Yang megah dan terindah. Sebagai simbol dari rasa cinta ini, ia akan memenuhi semua sarana yang diperlukan. Ia tidak memperhitungkan mahalnya nilai sarana. Yang penting dapat mempersembahkannya. Ia akan mengikuti semua sastra.
2.      Pembebasan dosa
Manusia bekerja atas dorongan budi, manah indria, dan ahamkara. Kalau indria dan ahamkara yang mendominasi, kecendrungan karma itu adalah buruk, yang akan menjadikan dosa. Manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa ini. Tapi antara manusia satu dengan yang lainnya akan berbeda kualitas dosanya, sesuai dengan lingkungan kerja manusia itu sendiri. Usaha pembebasan atas dosa-dosa memang sangat dibutuhkan dalam upacara ngaben. Dari dasar pemikiran inilah, mengapa seorang raja harus diaben secara besar-besaran, bahkan memakai naga banda.
2.3 Ngaben Sebagai wujud Sradha Bhakti Kepada Leluhur
            Di dalam tradisi Hindu seseorang tidak hanya diajarkan memuja Tuhan, tetapi juga menghormati atau memuja leluhur. Wiana (1998:2) menyatakan bahwa dalam tradisi orang Bali-Hindu ayah dan ibu disebut sebagai guru Rupaka. Selain guru rupaka ada guru swadyaya, yaitu Tuhan. Sedangkan guru pengajian adalah guru yang memberikan bekal ilmu pengetahuan, dan guru wisesa adalah pemerintah. Guru rupaka adalah orang tua yang menjadikan seorang anak manusia ada di dunia, mulai dari dalam kandungan, dilahirkan, dipelihara dan dididik agar dapat menjadi anak yang baik, berguna, dan berbhakti yang disebut dengan suputra.
            Di dalam kitab Sarasamuscaya sloka 228 (kajeng, 1978: 158) dijelaskan tentang arti anak sebagai berikut:
“Yang dianggap anak, adalah orang yang menjadi pelindung, orang yang memerlukan pertolongan serta untuk menolong kaum kerabat yang tertimpa kesengsaraan, untuk disedekahkan tujuannya, akan segala hasil usahanya, gunanya memasak menyediakan makanan untuk orang-orang miskin, orang yang demikian itu putra sejati namanya”.
Semua agama dan kebudayaan umat manusia mengajarkan agar anak dapat menghormati dan berbhakti kepada orang tuanya. Di dalam ajaran agama Hindu ada keyakinan bahwa manusia yang lahir ke dunia ini memiliki tiga hutang moral (tri rna). Salah satunya adalah hutang moral yang harus dibayar agar terbebas dari belitan hutang sehingga dapat menjadi manusia yang lebih baik. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan dan ditunjukan oleh seorang anak untuk membayar hutang kepada orang tua atau leluhurnya. Menurut Wiana (2004:4), membayar hutang kepada orang tua (leluhur) dapat dilakukan dengan melaksanakan upacara manusa yajna dan pitra yajna.
Manusa Yajna adalah ajaran yang bermakna seseorang harus melaksanakan pitra rna atau merupakan salah satu bentuk hormat dan pengorbanan suci kepada para leluhur. Cara yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, melaksanakan yajna kepada anak-anak. Karena dalam Hindu ada keyakinan tentang punarbhawa, yaitu reinkarnasi atau kelahiran kembali. Orang Bali Hindu percaya anak-anak yang lahir ke dunia adalah penjelmaan kembali dari leluhurnya. Oleh karena itu, anak-anak haruslah dirawat, dibesarkan, dilindungi, dan dididik dengan baik, penuh rasa kasih sayang karena dengan melakukan semua itu berarti menghormati leluhur. Inilah salah satu bentuk manusa yajna sebagai cara untuk menunjukan rasa kasih saying, hormat, dan bhakti kepada leluhur. Ada kepercayaan bahwa para leluhur yang telah meninggal dunia baru bisa bereinkarnasi jika telah bersih, atau sudah diaben.
Upacara ngaben sebagai simbol pembayaran utang kepada leluhur sarat akan nilai, norma, dan etika sosial kemasyarakatan dan bersifat religius adalah representasi dari sikap seorang anak yang hormat, berbakti, dan cinta kasih kepada leluhurnya. Upacara ngaben merupakan perwujudan dan pengejewantahan sradha dan bhakti seorang anak kepada orang tua atau leluhurnya. Meminjam teori Bordieu (fashri, 2006) dalam Kebayantini, yang menguraikan bahwa upacara ngaben merupakan “struktur-struktur yang dibentuk” dan “struktur-struktur yang membentuk”. Di satu sisi upacara ngaben berperan sebagai sebuah struktur yang membentuk kehidupan sosial individu manusia Bali Hindu. Di sisi lain upacarangaben dipandang sebagai struktur yang dibentuk oleh kehidupan sosial manusia Bali-Hindu. Orang Bali menganggap upacara ngaben sebagai salah satu cara atau jalan untuk dapat menghormati dan berbhakti kepada leluhurnya. Seorang anak hormat dan bakti kepada orang tuanya tidak hanya ditunjukan ketika orang tuanya masih hidup. Tetapi juga ditunjukan ketika orang tuanya meninggal.
Rasa hormat dan bhakti yang ditunjukan dengan mengadakan upacara ngaben ini dalam banyak hal merupakan kesadaran dari seorang anak tentang ajaran panca wida dan kepercayaan akan ajaran Hindu tentang hukum punarbhawa. Jadi di satu sisi upacara ngaben  yang dilandasi  panca wida dan punarbhawa merupakan struktur yang membentuk seorang anak untuk menjadi anak suputra, yaitu anak yang hormat dan berbhakti kepada orang tuanya. Hal ini dapat ditunjukan dengan bagaimana ia berusaha secara ekonomi agar dapat membiayai upacara ngaben, bagaimana secara sosial ia mampu menggalang dan membentuk kerja sama dengan kerabatn dan orang-orang di lingkungannya untuk melaksanakan uoacara ngaben. Sementara itu d sisi lain ia mengasah cara berpikir, mengembangkan  kebiasaan, sikap, perkembangan waktu, ruang, dan dinamika kehidupan orang Bali. Demikian konsep suputra ( Gorda, 1996: 87) dalam Kebayantini, yang memiliki arti penting sebagai jembatan menyucikan atman orang tua (leluhur).
Dewasa ini umat Hindu di Bali dalam melaksanakan upacara ngaben telah menempuh dengan jalan perseorangan atau ngiring di sebuah griya. Dalam pelaksanaan upacara ngaben tersebut masyarakat Hindu cenderung hiperiualitas atau melaksanakan upacara secara besar-besaran (Ida Ayu Tary Puspa, 2014:11).
Piliang (Ida Ayu Tary Puspa, 2014:11) mengatakan bahwa berbagai aspek kegiatan ritual keagamaan tersebut secara hakiki tidak lagi berkaitan dengan model yang dicontohkan dalil-dalil nyang telah digariskan, maka yang berkembang adalah hiperealitas ritual (hyper-reality of ritual) atau hiperitual (hyper-ritual),yaitu realitas ritual keagamaan yang telah melampaui hakikat ritual itu sendiri. Yang berkemabng adalah berbagai bentuk realitas-realitas ritual artificial, yang berbagai budaya materi dan gaya hidup sendiri sebagai ruang penyucian jiwa.
BAB III
PENUTUP


3.1 Simpulan
      Ngaben dalam bahasa Bali berkonotasi halus yang sering disebut dengan Palebon, yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.
Tujuan dari upacara ngaben adalah agar ragha sarira cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu panca maha buthadi alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam pitra. Oleh karenanya, ngaben sesuangguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mesti meninggal segera harus diaben.
Landasan filosofis ngaben bisa diuraikan secara umum dan secara khusus. Landasan Landasan pokok ngabensecara umum adalah lima kerangka agama Hindu, yang disebut Panca Sradha. Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah:Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara, dan, Moksa. Sedangkan secara khusus ngaben dilaksanakan karena cinta yang mendalam terhadap leluhur dan pembebasan dosa.
Upacara ngaben sebagai simbol pembayaran utang kepada leluhur sarat akan nilai, norma, dan etika sosial kemasyarakatan dan bersifat religius adalah representasi dari sikap seorang anak yang hormat, berbakti, dan cinta kasih kepada leluhurnya. Upacara ngaben merupakan perwujudan dan pengejewantahan sradha dan bhakti seorang anak kepada orang tua atau leluhurnya.
3.2 Saran
Masyarakat Hinduk hendaknya dapat meningkatkan wawasannya tentang upacara ngaben. Hal ini dimaksudkan agar banyak belajar dari sumber-sumber sastra sehingga setiap melaksanakan upacara agama berdasarkan sastra suci Hindu.

DAFTAR PUSTAKA


Tary Puspa, Ida Ayu. 2013. Bali Dalam Perubahan Ritual Komodifikasi Ngaben di Era Globalisasi. Denpasar: Arti Foundation.
Kajeng, I Nyoman dkk. 1978. Sarasamuscaya dengan Teks Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno, Terjemahan dalam Bahasa Indonesia. PT Junasco.
Kebayantini, Ni Nyoman. 2013. Komodifikasi Upacara Ngaben di Bali. Denpasar: Udayana University Press.
Pudja. 2003. Bhagawadgita. Surabaya: Paramita
Titib, I Made  dan Mardika. 2004. Buku Ajar Psikologi Agama. Jakarta: Bimas Hindu Budha Departemen Agama RI
Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita
Wikarman, I Nyoman Singgin. 2002. Ngaben Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama. Surabaya: Paramita.



           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar